Paraga, Atraksi Seni Pemikat Hati Anak Raja

- 30 September 2023, 18:18 WIB
Tari Paraga di Sulsel
Tari Paraga di Sulsel /Perpus Digital Budaya Indonesia/IST/

INTUISI, MAKASSAR - Paraga ialah permainan dan olahraga sekaligus kesenian tradisional asal Bugis-Makassar. Dahulu seni ini dilakukan di kalangan bangsawan muda untuk memikat hati anak gadis sang raja.

Berbeda dengan permainan dan olahraga tradisional sepak takraw, paraga dimainkan tidak untuk dipertandingkan, melainkan sebagai atraksi unjuk kebolehan saja. Paraga juga dimainkan secara beregu dengan jumlah anggota minimal enam orang.

Ketua Dewan Kebudayaan Makassar Prof Aminuddin Salle mengatakan dalam paraga, bola rotan dipantul-pantulkan tidak hanya menggunakan kaki, tetapi juga kepala dan tangan. Keberadaan passapu, topi segitiga yang diberi lapisan kanji agar mampu menegak. Hal itu sangat membantu para pemain paraga saat melakukan olah bola dengan kepala.

Para pemainnya paraga juga kerap memanfaatkan sarung yang menjadi bagian dari kostum mereka untuk mengolah bola rotan itu. Dalam aksinya, biasanya dimainkan pada posisi mulai dari berdiri, duduk, jongkok, hingga berbaring.

Selain itu kata dia, paraga pun dimainkan dalam berbagai formasi. Salah satunya, formasi menara yang terbentuk dari tumpukan para pemain.

Dahulu, kegiatan ini merupakan peralatan olahraga bangsawan. Jika bercermin pada kisah Maipa Deapati & Datu' Museng maka Datu' Museng  sebagai lelaki menunjukkan kehebatannya mempermainkan raga dan itu menjadi tontonan raja-raja.

"Jadi anak-anak bangsawan itu mempertontonkan keahliannya sementara raja dan anak gadisnya melihat itu dari istana dari situ para gadis atau anak raja memperlihatkan ketertarikannya terhadap mereka yang hebat memainkan raga," kata Aminuddin.

Kesempatan ini dimanfaatkan raja sebagai sayembara untuk memilih calon menantunya. "Di situ pula anak gadis juga memperlihatkan kekagumannya pada pemain raga. Dahulu itu filosofinya," sambungnya.


Ritus dan Kisah Mistis

Budayawan Sulsel Muhannis mengatakan di Sinjai sendiri Paraga merupakan bagian dari ritual yang dilakukan sebelum kegiatan penting digelar di sana. Dan menempatkannya sebagai sebuah ritus yang harus didahului. Umpanyanya, saat ziarah ke makam leluhur maka mereka memainkan raga dahulu sebagai bentuk gambaran kehidupan mereka.

Sayangnya, dalam perkembangan zaman akhirnya tidak lagi menjadi sebuah keharusan karena regenerasi tidak ada akhirnya punah atau jarang ditampilkan.

Ditambah lagi, adanya paraga jenis baru atau yang dinamakan sepak takraw. Bedanya, kata Muhannis, dahulu permainan itu dilakukan melingkar sementara saat ini dipertandingkan sehingga para tetua yang dahulu bisa jadi minder memainkan.

Ia mencontohkan, seperti di Karampuang, misalnya sudah menjadi bagian yang wajib ditampilkan dalam event atau kegiatan. "Dahulu itu aturan adat jadi harus ditampilkan, apalagi itu mencerminkan sifat kehidupan sehingga dalam konteksnya bermakna kehidupan; saling membantu, memberi, bekerjasama," jelasnya.

Dalam pesta adat itu, bahkan ada satu lokasi di sana yang dikhususkan sebagai tempat bermain raga.

Aminuddin yang juga Dosen Fakultas Hukum Unhas bahkan menyebut ada kisah mistisnya. Ketika Maipa sakit lalu Datu' memainkan raga dan ditendangnya raga itu lalu bola itu seperti melompat masuk ke bilik Maipa.

Dari situ raga merupakan obat bagi Maipa untuk sembuh kembali.

Kini, permainan ini pun merakyat; berubah, beradaptasi sesuai kebutuhan menjadi sepak takraw. Apalagi saat ini tidak ada lagi istilah bangsawan sehingga dapat dimainkan semua orang.

Meski, diketahui bola paraga juga berbeda dengan bola rotan yang kerap digunakan untuk sepak takraw. Satu bola paraga utuh memiliki tiga lapis anyaman rotan. Satu lapis anyaman membutuhkan waktu pembuatan sekitar 45 menit. Jadi, dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk menganyam satu bola paraga.

"Paraga merupakan perpaduan unsur permainan, olahraga sekaligus kesenian tradisional Bugis yang indah. Ia selalu dimainkan dengan iringan musik yang terdiri dari gendang dan gong, juga calong-calong yakni alat musik yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara dipukul menggunakan potongan kayu agar para pemainnya tetap bersemangat," jelasnya.

Para pemain paraga pun bergerak memantul-mantulkan bola sambil menari mengikuti iringan tetabuhan musik yang dimainkan.

Selain itu, ia jelaskan, nilai rotan yang dianyam dan dimainkan itu menandakan bola rotan saja dapat dianyam dan dikendalikan sesuai kehendaknya, olehnya seharusnya rakyat atau pun pemerintahannya mampu dikendalikan.

Muhannis melanjutkan, Takraw sendiri merupakan pengembangan dari paraga yang mana juga dikatakan sebagai ukuran kepintaran seseorang lelaki, juga bagian dari keperkasaan lelaki harus bisa memainkan raga selama-lamanya.

"Makin lama dimainkan maka dia dikatakan hebat. Seperti halnya Datu' Museng yang mampu memainkan raga dan mampu memukau para gadis saat itu," lanjutnya.

Sejauh ini, dalam pengamatannya, masih banyak para pemain raga di kampung-kampung, tetapi sudah banyak juga yang berusia tua sehingga tak ingin tampil lagi. "Banyak pelakunya di kampung-kampung tetapi karena sistem takraw yang mereka lihat sehingga tidak mau. Mereka bilang biarkan saja anak-anak yang main, jangami orangtua," ungkapnya.

Menurutnya, nilai yang terkandung dalam paraga ini ialah seni, kekompakan, kerja sama, kebersamaan, gotong royong. ***

Editor: Busrah Hisam A


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah